Skip to main content

Tentang Diriku: Dari Manusia “Eksoskeletal” Menuju Manusia “Ekstra Endoskeletal” (Bag 2/2)

Saat duduk di bangku sekolah, temanku bercerita tentang suatu mitos di kamar X rumah sakit YYY. Konon katanya jika dirawat di kamar itu maka ia akan kembali dirawat suatu hari nanti. Hahaha tentu aku tak percaya pada hoax macam itu, tp lucunya aku benar-benar kembali xD! Bukan, bukan ke kamar X rumah sakit YYY melainkan aku menginjakkan kaki kembali di RS Ortopedi Soeharso. Aku diterima di Fakultas Kedokteran UNS, padahal tak pernah kubayangkan sebelumnya akan kembali ke kota ini, ke rumah sakit ini lagi. Untungnya kali ini aku datang bukan sebagai pasien, melainkan pengantar teman yang kecelakaan, patah tulang. Dua tahun setelah terakhir kali aku meninggalkannya, RSO nampak telah banyak perubahan. Pembangunan disana-sini membuat kawasan rumah sakit ini semakin cantik. Selagi menunggu, kusempatkan berkeliling, nostalgia ceritanya J.
Apa kabar skoliosisku? So far so good, aku masih bisa beraktifitas seperti dulu: jalan-jalan, hiking, naik bukit, nyebrang sungai, aktif organisasi, dsb. Tentu dengan brace yang menyelimuti kerangka tubuhku. Dulu saat awal memakainya memang terasa gerah, kaku, dan tidak nyaman, tapi sekarang sudah terbiasa. Bahkan aku merasa jadi sejenis manusia ‘eksoskeletal’, yang bergantung pada brace ini sebagai kerangka penyangga luar. Pernah lihat kecoa atau jangkrik? Hm mungkin sejenis itu keadaanku. Kalau dipegang badannya keras, kalau diketok bunyi ‘tok-tok’. Tapi saat brace dilepas rasanya ada yg hilang dari diri ini, berasa aneh gitu deh. Terpikir untuk melepas ketergantungan dari brace ini suatu saat nanti? Tentu, tapi aku belum tau kapan..
Singkat cerita, aku “ketahuan” scoliosis oleh salah satu dosenku, dan dinasehati untuk “menyelesaikan” persoalanku yang satu ini. Aku dikenalkan pada seorang dokter spesialis ortopedi sub spine untuk konsultasi. And then.. Aku disarankan untuk operasi.
“Kalau lebih dari 45 derajat, disarankan operasi. Apalagi tulangmu sudah habis masa pertumbuhannya. Karena derajat lengkungannya besar, kalau ndak disangga dari dalam bisa nambah lagi.” begitu kurang lebih penjelasan beliau. 100 derajat, sebuah sudut kelengkungan yang fantastis dari scoliosis yang tanpa gejala sesak napas, nyeri, atau apapun!
“Mungkin kamu sekarang nggak ngerasa apa-apa, tapi cepat atau lambat pasti akan berefek. Mau sekarang atau beberapa tahun lagi, niscaya kamu butuh tindakan operasi.” tambah beliau.
“Dok, untuk prosedur operasinya bagaimana?” tanyaku penasaran. Dan you know? Beliau menjelaskan secara detail tindakan “menyeramkan” itu dengan santai, penuh senyum, dan meyakinkan (padahal ane dengernya ngeri-ngeri gimana gituh).
“Punggungnya ‘dibuka’, kita coba ‘akali’ tulangnya semaksimal lurus yang dia bisa, krista oss (tulang) nya dibor, lalu dipasang titanium disitu. Kalau kasusnya biasa sih 3-4 hari sudah bisa jalan-jalan lagi, tapi kalau sudut besar begini memang ndak bisa lurus sempurna dan mungkin costa ( tulang rusuk) nya musti dipotong sedikit jadi maksimal 10-14 hari udah oke lah..” kurang lebih begitu sodara-sodara.. Tapi demi melihat senyum di wajah beliau, aku jadi percaya kalau operasi ini ‘tidak berbahaya’..
Oke fix, aku setuju pada solusi operasi ini, tapi ‘lagi-lagi’ aku menundanya sampai akhir masa preklinik sambil mempersiapkan diri dan meyakinkan orang tua.
“Ya Allah, tulangmu mau ‘diongkel-ongkel’? Ibu mbayanginnya aja takut, nggak tega..” komentar ibuku, tapi kucoba sebisa mungkin meniru gaya full smile dan santainya pak dokter spine yg super ramah itu. Nggak sekali-kali aku berani memperlihatkan video operasi spine yang kudapat dari youtube, bisa pingsan ibuku. Hehehe J
Inilah mungkin yang dinamakan ‘berdamai dengan kekurangan’. Akhirnya aku sudah tak canggung lagi ‘menertawakan’ punggungku yg nggak lurus (aku bilang seksi kayak inul pas goyang) atau braceku yang kalau diketok kayak pintu triplek. Aku bahkan bangga dan berkata kalau misal ada penjahat yang nembak punggungku bakalan nggak tembus pelurunya, sakti tanpa ilmu tenaga dalam. Keren kan aku? Wkwkwk :P
Dan aku terlena.. Aku merasa benar-benar menjadi ‘manusia sakti’ yang bisa beraktivitas lebih dari siapapun: work over power!! B)
Hingga mungkin tubuhku protes, dan mulai mogok kerja. Saat itulah aku merasa ada yang aneh dengan otot-otot kelopak mataku, aku mulai sering ptosis (kukira ngantuk karena begadang). Dan senyumanku, mulai tak bisa bertahan lama, otot-otot pipiku melemah, sulit meniup balon.
Saat itu akhir semester 6, aku sibuk mengurus skripsi, sekaligus bertanggungjawab pada sebuah event yang cukup besar di organisasi fakultas. Di tengah aktivitas yang bejibun itu, mbak kosku yang manis, Mbak Annisa Nursanti menawarkan sebuah buku bagus: Karya Pelangi, dimana aku membaca kisah Teh Nila Gustian dan merasa ada yang sama diantara kami..
Aku pergi ke poly syaraf dan didagnosis suspek Myastenia Gravis, sebuah kelainan autoimun yang prevalensinya bisa dibilang jarang bahkan langka. Sedih? Iyalah. Nangis? Pasti. Bahkan sampai peluk-pelukan sama residen syarafnya (untungnya perempuan hehe) tapi cuma sehari kok, habis itu aku udah bisa ketawa-ketawa lagi. Lagipula kasusku unik, karena dari pemeriksaan penunjang (yg amat banyaknya itu) hampir semua negative, hanya tanda klinisnya yang jelas.
“Dek Bani, Dek Bani. Satu anak aja bikin gempar satu SMF..” goda salah satu residen yang ikut memeriksaku. Masa iya, gempar? Aku sih kurang tau, tapi konon katanya sampai dirapatkan oleh para staff syaraf. Hehe entahlah J.
                The show must go on! Dunia ga kiamat hanya gara-gara aku didiagnosis Myastenia Gravis (dengan scoliosis yg cukup parah tentu). Paling juga cuma hatiku aja yang sedikit hancur. Ya, cuma sedikit. Hiks L
                Tanggungjawab organisasi ga peduli Bani sakit atau nggak, apalagi dosen penguji skripsi, apalagi dosen penguji kompre. Bani hanya perlu menahan diri dari “godaan” kegiatan-kegiatan menguras energy, tidur cukup (banyak lebih baik), dan mestinon, pil orange yang harus diminum saat energy mulai down. Pil yang hanya menghilangkan gejala tanpa menyembuhkan apapun itu, dia ‘obat kuat’ku J.
                Kini, aku sedang berihtiar untuk menjemput janjiNya, bahwa Ia ciptakan penyakit pasti Ia berikan obatnya (bahkan bisa saja obat itu berupa mukjizat yg tak pernah terpikirkan oleh akal manusia). Dan insyaaAllah Ramadhan ini aku akan memiliki teman baru, yg akan menemaniku seumur hidup: titanium, my “extraendoskeleton”. Ya, jika diberi kelancaran aku akan operasi scoliosis kurang dari seminggu lagi, insyaaAllah, mohon doanya. Mungkin ini salah satu hikmah Allah tak menakdirkan aku lulus ujian tulis kompre untuk masuk dunia koass gelombang pertama, mungkin Allah mau bilang “Bani, sekarang nggak ada lagi ya, yang namanya nunda-nunda waktu berobat lagi!!” J
                Pernah nggak sih Bani merasa Allah begitu tegaa? Sebagai orang biasa, jujur kuakui pernah (bahkan mungkin sering, astaghfirullaah..). Ada masa-masa dimana aku ingin menjadi manusia yg biasa saja, menjalani hidup sebagaimana orang lainnya, tanpa menjalani hal-hal yg tak orang lain harus jalani. Tapi bagiku ini sebuah pilihan: untuk menyesal, mengumpat pada apa yang tlah terjadi dan membuat semua semakin kusut tanpa ada yg berubah atau berdoa dan berharap, menggantungkan semua hanya padaNya. Dan alhamdulillah Allah lebih sering menyadarkanku. Berapa banyak cobaa, nikmat yg sudah Allah beri selama ini? Tak terhitung! Mosok Cuma dikasih dua hadiah: scoliosis dan myasthenia gravis, semua nikmat itu jadi terdustakan? Hmm mungkin memang selama ini aku kurang bersyukur, makanya Allah ‘cubit’ sedikit. Dan alhamdulillah jadi sungguh-sungguh bersyukur saat bisa bernapas tanpa rasa sesak, bisa mengunyah, tersenyum, mengangkat tangan dan kaki meski kadang perlu ‘supply energi’ dari mestinon (jadi berasa robot aja) J
                Dan yang lebiiiih lebih membuatku bersyukur adalah orang-orang disekitarku yang selalu perhatian menyayangiku. Ibu yg selalu khawatir dan belakangan terus mendampingi kemanapun, bapak dan kedua kakakku yg selalu mendoakan terbaik, meski kadang bingung jg sama penyakit-penyakit ‘aneh’ku, teman-teman yg mendadak jadi PMO (pengawas minum obat) serta seringkali kurepotkan mengantar periksa dan cek kesana kemari: Nopi, Ira, Asma, Nova, Nurul, juga Okti dan Diena yg menjadi penyemangatku mengerjakan skripsi ditengah masa-masa downku dulu. Tak lupa juga, teman-teman kosbin tsiqoh: Mbak Eny dan Elvia yg seringkali membangunkanku saat aku terjatuh (dalam makna denotasi) juga Novy, Miti, dan Asri yg tak bosan menanyakan “Mbak Bani kapan operasi? Nanti aku temenin..” J *eh btw kok jadi berasa dapet award ya, ucapan terimakasihnya panjang banget*
                Intinya, kepada semua pihak yang telah berjasa untukku, baik berupa bantuan, doa, motivasi, maupun inspirasi sekecil apapun, terimakasih banyak. Kalian membuatku tetap tegar hingga detik ini J
                Semoga sebuah hadist ini berlaku untukku, dan untuk semua orang yang sedang mereguk manisnya cobaan yang Allah titipkan. Aamiin J
                “Tidaklah seorang mukmin ditimpa rasa sakit, kelelahan (kepayahan), diserang penyakit atau kesedihan (kesusahan) sampai pun duri yang menusuk (tubuhnya) kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari)
                Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah karena telah menempaku dengan cara yang tak semua orang rasakan. Aku yakin tak ada yang sia-sia dari segala penciptaanMu. Kuatkan pundakku, mantapkan langkah kakiku, lapangkan dadaku, dan izinkan aku terus merengkuh, memeluk segala keyakinan akan hikmah yang kau selipkan dalam setiap  garis takdirMu J
Wallahu’alambishowab


Surakarta, 20 Juni 2014 11.15pm

Comments

Popular posts from this blog

Mitos dan Fakta Mahasiswa FK

Bisa dibilang bahwa kedokteran adalah salah satu jurusan yang tergolong kontroversial. Banyak isu dan gosip yang sering saya dengar bahkan jauh hari sebelum benar-benar jadi mahasiswa FK. Diantara desas-desus itu tak jarang yang membuat saya merasa harus berpikir ulang sebelum memilih ambil jurusan ini. Setelah terjun di dalamnya, ternyata ada isu yang bukan sekedar gosip alias fakta, dan ada pula yang ternyata zonk alias hoax alias mitos belaka. Nah dipostingan kali ini saya pengen bahas satu-satu, meski nggak semuanya karena jumlah aslinya buanyak bangets. Semoga bisa mewakili yes. Abaikan pose orang-orang yang di pinggir 1. Mahasiswa FK biasanya anak orang kaya soalnya bayar kuliahnya mahal. Menurut saya nggak seratus persen benar. Memang ada FK yang mematok harga selangit baik untuk biaya masuk maupun persemesternya, tapi banyak juga FK yang relatif terjangkau, biasanya dari universitas negeri. Selain itu ada kok mahasiswa FK kayak saya yang hanya bermodal dengkul alias m

Idul Adha di Perantauan; Sedih Sih, Tapi... Siapa Takut? B-)

Bismillah. Errr udah paham dari judulnya ya? Yaudah deh, ga jadi cerita ah~ ^_^ Intinya selamat hari raya idul adha, mohon maaf lahir dan batin (loh?) (Hoho gambar yg cukup menghibur :D)

Kerlap-kerlip

Mati lampu. Ini bukan karena pulsa listrik kost saya habis atau belum bayar 3 bulan. Bukan juga karena lampunya kadaluarsa. Semua lampu sepanjang jalan kost mati, itulah kenyataan yang terjadi, dan harus diterima dengan lapang dada. Dan saya, disini ngutak-atik laptop, nulis-nulis blog selagi temen2 kost ribut masalah lilin, korek, dan seterusnya. Saya cukup menikmati kegelapan ini, karena kamar saya jadi bersinar gara2 hiasan bintang2 fluoroscent warna hijau, pink, dan biru yang saya tempel di langit2 dan tembok kamar saya. Walhasil, kalo mati lampu, kamar saya jadi kerlap-kerlip, jad i berasa melayang-layang di tengah langit malam (lebay), hem mungkin sederhananya seperti berada di planetarium, atau apalah itu, yang jelas rasanya nyaman sekali :) Alhamdulillah, lampunya udah nyala! Wah, cepet banget ya, cuma berapa menit gitu, ga sampe setengah jam. Kamar saya sekarang jadi terang benderang, ga kerlap-kerlip lagi :) Hem, saya jadi teringat sama penemu lampu pijar, Thomas Alfa Edi