Saat duduk di bangku sekolah,
temanku bercerita tentang suatu mitos di kamar X rumah sakit YYY. Konon katanya
jika dirawat di kamar itu maka ia akan kembali dirawat suatu hari nanti. Hahaha
tentu aku tak percaya pada hoax macam itu, tp lucunya aku benar-benar kembali
xD! Bukan, bukan ke kamar X rumah sakit YYY melainkan aku menginjakkan kaki
kembali di RS Ortopedi Soeharso. Aku diterima di Fakultas Kedokteran UNS,
padahal tak pernah kubayangkan sebelumnya akan kembali ke kota ini, ke rumah
sakit ini lagi. Untungnya kali ini aku datang bukan sebagai pasien, melainkan
pengantar teman yang kecelakaan, patah tulang. Dua tahun setelah terakhir kali
aku meninggalkannya, RSO nampak telah banyak perubahan. Pembangunan disana-sini
membuat kawasan rumah sakit ini semakin cantik. Selagi menunggu, kusempatkan
berkeliling, nostalgia ceritanya J.
Apa kabar skoliosisku? So far so
good, aku masih bisa beraktifitas seperti dulu: jalan-jalan, hiking, naik
bukit, nyebrang sungai, aktif organisasi, dsb. Tentu dengan brace yang menyelimuti
kerangka tubuhku. Dulu saat awal memakainya memang terasa gerah, kaku, dan
tidak nyaman, tapi sekarang sudah terbiasa. Bahkan aku merasa jadi sejenis
manusia ‘eksoskeletal’, yang bergantung pada brace ini sebagai kerangka
penyangga luar. Pernah lihat kecoa atau jangkrik? Hm mungkin sejenis itu
keadaanku. Kalau dipegang badannya keras, kalau diketok bunyi ‘tok-tok’. Tapi
saat brace dilepas rasanya ada yg hilang dari diri ini, berasa aneh gitu deh.
Terpikir untuk melepas ketergantungan dari brace ini suatu saat nanti? Tentu,
tapi aku belum tau kapan..
Singkat cerita, aku “ketahuan”
scoliosis oleh salah satu dosenku, dan dinasehati untuk “menyelesaikan”
persoalanku yang satu ini. Aku dikenalkan pada seorang dokter spesialis
ortopedi sub spine untuk konsultasi. And then.. Aku disarankan untuk operasi.
“Kalau lebih dari 45 derajat,
disarankan operasi. Apalagi tulangmu sudah habis masa pertumbuhannya. Karena
derajat lengkungannya besar, kalau ndak disangga dari dalam bisa nambah lagi.”
begitu kurang lebih penjelasan beliau. 100 derajat, sebuah sudut kelengkungan
yang fantastis dari scoliosis yang tanpa gejala sesak napas, nyeri, atau
apapun!
“Mungkin kamu sekarang nggak
ngerasa apa-apa, tapi cepat atau lambat pasti akan berefek. Mau sekarang atau
beberapa tahun lagi, niscaya kamu butuh tindakan operasi.” tambah beliau.
“Dok, untuk prosedur operasinya
bagaimana?” tanyaku penasaran. Dan you know? Beliau menjelaskan secara detail
tindakan “menyeramkan” itu dengan santai, penuh senyum, dan meyakinkan (padahal
ane dengernya ngeri-ngeri gimana gituh).
“Punggungnya ‘dibuka’, kita coba
‘akali’ tulangnya semaksimal lurus yang dia bisa, krista oss (tulang) nya
dibor, lalu dipasang titanium disitu. Kalau kasusnya biasa sih 3-4 hari sudah
bisa jalan-jalan lagi, tapi kalau sudut besar begini memang ndak bisa lurus
sempurna dan mungkin costa ( tulang rusuk) nya musti dipotong sedikit jadi
maksimal 10-14 hari udah oke lah..” kurang lebih begitu sodara-sodara.. Tapi
demi melihat senyum di wajah beliau, aku jadi percaya kalau operasi ini ‘tidak
berbahaya’..
Oke fix, aku setuju pada solusi
operasi ini, tapi ‘lagi-lagi’ aku menundanya sampai akhir masa preklinik sambil
mempersiapkan diri dan meyakinkan orang tua.
“Ya Allah, tulangmu mau
‘diongkel-ongkel’? Ibu mbayanginnya aja takut, nggak tega..” komentar ibuku,
tapi kucoba sebisa mungkin meniru gaya full smile dan santainya pak dokter
spine yg super ramah itu. Nggak sekali-kali aku berani memperlihatkan video
operasi spine yang kudapat dari youtube, bisa pingsan ibuku. Hehehe J
Inilah mungkin yang dinamakan
‘berdamai dengan kekurangan’. Akhirnya aku sudah tak canggung lagi
‘menertawakan’ punggungku yg nggak lurus (aku bilang seksi kayak inul pas
goyang) atau braceku yang kalau diketok kayak pintu triplek. Aku bahkan bangga dan
berkata kalau misal ada penjahat yang nembak punggungku bakalan nggak tembus
pelurunya, sakti tanpa ilmu tenaga dalam. Keren kan aku? Wkwkwk :P
Dan aku terlena.. Aku merasa
benar-benar menjadi ‘manusia sakti’ yang bisa beraktivitas lebih dari siapapun:
work over power!! B)
Hingga mungkin tubuhku protes, dan
mulai mogok kerja. Saat itulah aku merasa ada yang aneh dengan otot-otot
kelopak mataku, aku mulai sering ptosis (kukira ngantuk karena begadang). Dan
senyumanku, mulai tak bisa bertahan lama, otot-otot pipiku melemah, sulit
meniup balon.
Saat itu akhir semester 6, aku sibuk
mengurus skripsi, sekaligus bertanggungjawab pada sebuah event yang cukup besar
di organisasi fakultas. Di tengah aktivitas yang bejibun itu, mbak kosku yang
manis, Mbak Annisa Nursanti menawarkan sebuah buku bagus: Karya Pelangi, dimana
aku membaca kisah Teh Nila Gustian dan merasa ada yang sama diantara kami..
Aku pergi ke poly syaraf dan
didagnosis suspek Myastenia Gravis, sebuah kelainan autoimun yang prevalensinya
bisa dibilang jarang bahkan langka. Sedih? Iyalah. Nangis? Pasti. Bahkan sampai
peluk-pelukan sama residen syarafnya (untungnya perempuan hehe) tapi cuma
sehari kok, habis itu aku udah bisa ketawa-ketawa lagi. Lagipula kasusku unik,
karena dari pemeriksaan penunjang (yg amat banyaknya itu) hampir semua
negative, hanya tanda klinisnya yang jelas.
“Dek Bani, Dek Bani. Satu anak aja
bikin gempar satu SMF..” goda salah satu residen yang ikut memeriksaku. Masa
iya, gempar? Aku sih kurang tau, tapi konon katanya sampai dirapatkan oleh para
staff syaraf. Hehe entahlah J.
The
show must go on! Dunia ga kiamat hanya gara-gara aku didiagnosis Myastenia
Gravis (dengan scoliosis yg cukup parah tentu). Paling juga cuma hatiku aja
yang sedikit hancur. Ya, cuma sedikit. Hiks L
Tanggungjawab
organisasi ga peduli Bani sakit atau nggak, apalagi dosen penguji skripsi,
apalagi dosen penguji kompre. Bani hanya perlu menahan diri dari “godaan”
kegiatan-kegiatan menguras energy, tidur cukup (banyak lebih baik), dan
mestinon, pil orange yang harus diminum saat energy mulai down. Pil yang hanya
menghilangkan gejala tanpa menyembuhkan apapun itu, dia ‘obat kuat’ku J.
Kini,
aku sedang berihtiar untuk menjemput janjiNya, bahwa Ia ciptakan penyakit pasti
Ia berikan obatnya (bahkan bisa saja obat itu berupa mukjizat yg tak pernah
terpikirkan oleh akal manusia). Dan insyaaAllah Ramadhan ini aku akan memiliki
teman baru, yg akan menemaniku seumur hidup: titanium, my “extraendoskeleton”.
Ya, jika diberi kelancaran aku akan operasi scoliosis kurang dari seminggu
lagi, insyaaAllah, mohon doanya. Mungkin ini salah satu hikmah Allah tak
menakdirkan aku lulus ujian tulis kompre untuk masuk dunia koass gelombang
pertama, mungkin Allah mau bilang “Bani, sekarang nggak ada lagi ya, yang
namanya nunda-nunda waktu berobat lagi!!” J
Pernah
nggak sih Bani merasa Allah begitu tegaa? Sebagai orang biasa, jujur kuakui
pernah (bahkan mungkin sering, astaghfirullaah..). Ada masa-masa dimana aku
ingin menjadi manusia yg biasa saja, menjalani hidup sebagaimana orang lainnya,
tanpa menjalani hal-hal yg tak orang lain harus jalani. Tapi bagiku ini sebuah
pilihan: untuk menyesal, mengumpat pada apa yang tlah terjadi dan membuat semua
semakin kusut tanpa ada yg berubah atau berdoa dan berharap, menggantungkan
semua hanya padaNya. Dan alhamdulillah Allah lebih sering menyadarkanku. Berapa
banyak cobaa, nikmat yg sudah Allah beri selama ini? Tak terhitung! Mosok Cuma
dikasih dua hadiah: scoliosis dan myasthenia gravis, semua nikmat itu jadi
terdustakan? Hmm mungkin memang selama ini aku kurang bersyukur, makanya Allah
‘cubit’ sedikit. Dan alhamdulillah jadi sungguh-sungguh bersyukur saat bisa
bernapas tanpa rasa sesak, bisa mengunyah, tersenyum, mengangkat tangan dan
kaki meski kadang perlu ‘supply energi’ dari mestinon (jadi berasa robot aja) J
Dan
yang lebiiiih lebih membuatku bersyukur adalah orang-orang disekitarku yang
selalu perhatian menyayangiku. Ibu yg selalu khawatir dan belakangan terus
mendampingi kemanapun, bapak dan kedua kakakku yg selalu mendoakan terbaik,
meski kadang bingung jg sama penyakit-penyakit ‘aneh’ku, teman-teman yg mendadak
jadi PMO (pengawas minum obat) serta seringkali kurepotkan mengantar periksa
dan cek kesana kemari: Nopi, Ira, Asma, Nova, Nurul, juga Okti dan Diena yg
menjadi penyemangatku mengerjakan skripsi ditengah masa-masa downku dulu. Tak
lupa juga, teman-teman kosbin tsiqoh: Mbak Eny dan Elvia yg seringkali
membangunkanku saat aku terjatuh (dalam makna denotasi) juga Novy, Miti, dan
Asri yg tak bosan menanyakan “Mbak Bani kapan operasi? Nanti aku temenin..” J *eh btw kok jadi
berasa dapet award ya, ucapan terimakasihnya panjang banget*
Intinya,
kepada semua pihak yang telah berjasa untukku, baik berupa bantuan, doa,
motivasi, maupun inspirasi sekecil apapun, terimakasih banyak. Kalian membuatku
tetap tegar hingga detik ini J
Semoga
sebuah hadist ini berlaku untukku, dan untuk semua orang yang sedang mereguk
manisnya cobaan yang Allah titipkan. Aamiin J
“Tidaklah
seorang mukmin ditimpa rasa sakit, kelelahan (kepayahan), diserang penyakit
atau kesedihan (kesusahan) sampai pun duri yang menusuk (tubuhnya) kecuali dengan
itu Allah menghapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari)
Alhamdulillah, terimakasih Ya
Allah karena telah menempaku dengan cara yang tak semua orang rasakan. Aku
yakin tak ada yang sia-sia dari segala penciptaanMu. Kuatkan pundakku,
mantapkan langkah kakiku, lapangkan dadaku, dan izinkan aku terus merengkuh,
memeluk segala keyakinan akan hikmah yang kau selipkan dalam setiap garis takdirMu J
Wallahu’alambishowab
Surakarta, 20 Juni 2014 11.15pm
Comments
Post a Comment